Buku Ilmu Pernafasan

Posted in Informasi on September 27, 2011 by djarotpurbadi

Sahabats, ternyata banyak yang sangat ingin belajar ilmu pernafasan warisan dari RM Harimurti. Saya sudah mendapat ijin secara lisan dari penulisnya, Bapak Warsono (Lumintu) untuk membagikan tulisan itu kepada siapapun. Saya masih kesulitan waktu untuk mempublikasikannya via weblog ini. Semoga dalam waktu dekat harapan kita bisa terwujud, yaitu buku tersebut dapat dengan mudah diambil di weblog ini. Saya juga berencana membuat film singkat yang memperagakan petunjuk dalam buku itu, tetapi sekali lagi soal waktu masih menjadi kendala.

Djarotp.

 

Temu Keluarga Pencak Silat Tejokusuman 2009

Posted in Informasi on October 5, 2009 by djarotpurbadi

Dalam bulan Oktober 2009 ini akan diadakan pertemuan dua organisasi pencaksilat di Yogyakarta yang ingin memulai proses mempererat hubungan kekeluargaan secara lebih luas dan erat karena merasa memiliki sumber aliran yang sama yaitu dari RM. Harimurti. Kedua organisasi itu ialah Perpi Harimurti dan Krisnamurti. Pertemuan ini diharapkan menjadi awal bagi proses pelestarian sistem pencaksilat warisan RM. Harimurti yang semakin mantap melalui ikatan kekeluargaan organisasi. Semoga niat baik ini dapat terwujud dan menjadi awal yang bagus suntuk mempererat tali persaudaraan antar warga dan organisasi-organisasi yang merasa memiliki ikatan batin dengan RM. Harimurti, antara lain karena mempelajari sistem pencaksilat yang diciptakannya.

Hasil rapat tanggal 8 Oktober menetapkan bahwa pertemuan akan dilaksanakan di Pendopo Wisnuwardanan di kampung Minggiran, yang selama ini menjadi tempat latihan warga Krisnamurti. Acaranya dilaksanakan hari Minggu 18 Oktober 2009 pukul 09.00 s.d. selesai. Mengingat pertemuan ini awal dari perjalanan panjang, maka tamu undangan masih terbatas dan ditentukan oleh kedua organisasi. Inti acara adalah (1) syawalan, (2) ikrar kebersamaan, dan (3) saling memperkenalkan diri diantara warga Perpi Harimurti dan Krisnamurti.

Catatan: Alamat latihan Krisnamurti di Pendopo R.M. Wisnu Wardhana, di sebelah barat lapangan sepak-bola Minggiran. Pendopo terletak di sebelah barat bangunan sekolahan yang ada di sisi barat lapangan sepak bola di Minggiran itu. Waktu latihan adalah setiap Jumat, pukul 19.00 s,d, selesai.

Mengenang Mas Yudoyono Seribu Hari Dipanggil Tuhan

Posted in Informasi on April 14, 2009 by djarotpurbadi

Yogyakarta, 13 April 2009

Saya kenal beliau sekitar tahun 1978, pada waktu itu saya siswa baru Krisnamurti Mataram (KM) yang berlatih di ndalem Suryodiningratan, latihan malam hari dan yang melatih mas Parjono, seorang mahasiswa IKIP negeri. Saya pertama kali berjumpa beliau di tempat latihan saya, sebab pada waktu itu organisasi KM mengadakan rapat pengurus di tempat itu, entah mau mengadakan apa saya lupa. Pada saat itu saya lupa-lupa ingat diajak untuk bergabung menjadi pengurus organisasi, mungkin karena saya mahasiswa dan aktif latihan. Seingat saya, kemudian saya ditugasi menjadi bendahara dua, menemani mbak Menuk mengurusi keuangan organisasi. Rasanya sebuah kehormatan bagi saya bisa terlibat dalam organisasi KM. Pada pertemuan itu, sebagai orang baru di KM saya belum banyak mendengar tentang beliau dan dalam rapat itu juga saya lupa seberapa banyak beliau berbicara. Saya hanya tahu bahwa beliau adalah ketua umum KM yang sangat dihormati dan disayangi adik-adiknya, terbukti dari sikap dan perkataan para senior saya yang hadir pada waktu itu. Seingat saya, Mas Yudho selalu berbicara tenang, tegas dan penuh dengan rasa kebapakan dan sebagai seorang kakak yang sabar.

Kedekatan saya dengan beliau memerlukan waktu panjang, sebab barangkali saya yang tidak terlalu sering berjumpa dengan beliau dibandingkan yang lain. Sesekali saya melihat beliau hadir di tempat latihan menaiki kendaraan sepeda motor Honda yang ukurannya tidak normal alias mini. Saya kadang geli sendiri memikirkan kenangan ini, mengapa mas Yudoyono yang tubuhnya besar dan tegap kok menaiki kendaraan seperti itu. Beberapa kali pula saya di jalanan berseliringan dengan beliau sedang menaiki honda kecil itu. Rasanya, hanya beliau di Jogja yang menaiki kendaraan seperti itu. Pada waktu itu saya tahu beliau sudah menjadi pengajar di ISI dan seorang penari yang handal, dan hampir tidak masuk akal saya beliau mengendarai sepeda motornya. Saya ingat pada waktu itu kalau tidak salah beliau belum beristri, saya membayangkan piye nek boncengan dengan pacarnya ????

Saya menjadi agak dekat dengan beliau setelah terjun dalam organisasi sebagai pelatih maupun pengurus KM karena banyak momen yang memungkinkan perjumpaan. Banyak kali saya dan teman-teman sempat mengelilingi beliau dalam setiap perjumpaan dan mendengarkan banyak ceritera yang beliau dongengkan. Satu hal yang saya catat, mas Yudoyono meskipun kesannya pendiam ternyata sangat suka humor dan saya selalu terkenang bagaimana gerak tubuh beliau pada waktu berceritera, khususnya senyum dan tertawa beliau yang khas tidak dapat saya lupakan. Dalam suasana seperti itu saya merasakan sentuhan kebapakan beliau yang sangat lembut, juga sikap beliau yang sangat ramah kepada kami para adik-adikya.

Ada momen penting yang beberapa kali terjadi, ternyata kemudian mengantar saya untuk mendekati mas Yudoyono. Ketika itu (entah tahun berapa) kami beberapa siswa KM sedang giat berlatih fisik menyiapkan diri untuk menghadapi PON (lupa yang mana). Pada waktu itu kami dilatih fisik di lapangan Mancasan diasuh oleh Pak Warsono setiap hari Minggu, dengan markas di rumah Mas Frans Hartono yang letak rumahnya di sebelah utara lapangan itu. Latihan fisiknya sangat berat tetapi selalu kami jalani dengan senang hati karena rasa kebersamaan diantara peserta sangat kuat. Rasanya fun dan enjoy. Setelah latihan – latihan fisik yang berat, siang hari kami minum bubur kacang hijau yang disiapkan mas Hartono. Sejak mengikuti sebagai “Tim Tempur” itulah saya merasakan manfaatnya, bagaimana gerakan pencak saya semakin mantap dan berbobot. Hal ini dirasakan juga oleh teman-teman yang lain. Sejak mengikuti latihan keras itulah saya dinyatakan layak ikut latihan untuk pelatih yang diasuh oleh bapak kita Petrus Subarjo. Bagi siswa KM adalah sebuah kebanggaan bisa mengikuti latihan Pak Barjo ini, sebab beliau dikenal sebagai sosok penjaga kualitas gerakan pencak silat gaya Tejokusuman. Saya sangat bangga bisa mengikuti latihan yang beliau asuh dan dari situlah saya bisa memahami jiwa pencak silat Tejokusuman.

Saya pada waktu itu ditugasi untuk berkonsultasi kepada mas Yudoyono agar kualitas latihan fisik di lapangan Mancasan berkembang dan kreatif. Mas Yudo memberi waktu kepada saya dan kami sepakat untuk bertemu di rumah beliau yang letaknya di sebelah timur alun-alun selatan. Seingat saya, beliau pada waktu itu belum menikah, jadi saya leluasa berdiskusi dengan beliau di ruang tamunya. Beberapa kali saya datang dan beliau memberikan banyak informasi. Salah satu hal yang saya ingat benar, beliau menekankan bagaimana menggabungkan gerakan pencak dengan pernafasan. Hal ini penting sebab nafas merupakan jiwa gerakan pencak, sebab tanpa disertai pengaturan nafas yang tepat gerakan pencak tidak banyak arti dan manfaatnya. Beberapa kali beliau memperagakan cara menggabungkan dua unsur penting itu, misalnya melakukan tendangan disertai pengaturan nafas yang sesuai. Prinsip ini saya lontarkan kepada teman-teman, tetapi tampaknya kami waktu itu kurang memperhatikannya, maklum kami masih anak muda yang trengginas tangan dan kakinya. Rasanya pesan mas Yudoyono baru tampak maknanya saat ini, ketika saya dan teman-teman merasa semakin tua serta tidak bisa lagi melakukan gerakan pencak yang keras dan cepat. Saya merasa ada tugas di depan mata kita yang sudah ditunjukkan beliau, bagaimana menggabungkan gerakan pencak Tejokusuman dengan nafas yang tepat. Jika kedua hal ini bisa digabungkan dengan baik, maka kehebatan pencak silat Tejokusuman akan semakin dapat dirasakan bagi yang melakukannya. Minimal beliau meninggalkan pesan, bagaimana pencak silat Tejokusuman mampu membuat kita tetap waras trengginas lahir batin melalui pengabungan gerakan pencak sebagai gerakan tubuh yang khusus disertai dengan pernafasan yang akhirnya gabungan keduanya akan menghasilkan manfaat lahir dan batin berkelanjutan meskipun kita-kita semakin tua.

Sebagai pimpinan KM, beliau terkesan pendiam, minimal dalam pandangan saya. Setelah saya renungkan dalam-dalam, sebenarnya sikap beliau itu sangat bijaksana. Saya menangkap bahwa mas Yudoyono membuka pintu seluas-luasnya kepada para adik-adiknya untuk mengembangkan organisasi maupun kekeluargaan yang dibangun melalui KM. Beliau sangat memahami situasi rekan-rekan di KM yang sangat beragam dan ingin suasana kekeluargaan lebih menonjol daripada organisasinya. Beliau selalu hadir pada saat kami mengharapkan kedatangannya, dan kehadiran beliau itu sangat memotivasi kerativitas teman-teman di KM untuk beraktivitas. Beliau selalu bersama kami setiap KM mengadakan ziarah ke makam RM. Harimurti di makam Kunci Rukmi. Kehadiran beliau dalam setiap momen penting itulah yang selalu menyejukkan kami, sebab tanpa mas Yudoyono rasanya bagaikan sayur kurang garam; atau wayang kulit tanpa gapet. Itulah sebabnya, saya dan teman-teman KM sangat kehilangan sosok saudara tua yang kebapakan dan penuh pengertian.

Sekarang mas Yudoyono telah berbahagia bersama Tuhan di surga, maka kita juga ikut berbahagia bersama keluarganya. Kita adik-adiknya di KM ingin meneruskan cinta beliau kepada budaya Jawa, khususnya pencak silat mataram gaya Tejokusuman dalam kebersamaan. Kita telah mendapat teladan sikap mas Yudoyono yang mendorong kuatnya keguyuban – kekeluargaan KM dan teladan itu menjadi penting bagi kemajuan KM seterusnya. Selamat jalan Mas, kehadiranmu dalam hidup kami sangat memperkaya jiwa kami dan teladanmu menjadi bekal bagi kami untuk memajukan kekeluargaan KM sekaligus melestarikan pencak silat mataram gaya Tejokusuman.

Catatan: Peringatan 1000 hari wafatnya dilaksanakan dalam sebuah Misa Kudus berbahasa Jawa dipimpin Romo Wiyana, Pr di nDalem Wisnuwardana, Minggiran, Yogyakarta.

Djarot Purbadi

Temu Balung Pisah

Posted in Gagasan on April 11, 2009 by djarotpurbadi

Dear All,

Saya sedang menggagas sebuah pertemuan KELUARGA BESAR PENCAKSILAT TEJOKUSUMAN untuk mengenang Suwargi Romo Harimurti pada bulan Juli 2009, kebetulan waktunya bertepatan dengan HUT Krisnamurti. Kita akan berjumpa di dua tempat, yaitu Pendopo Wisnuwardana dan Makam Kunci Rukmi.

Mohon doa dan dukungan para kadang semua, yang merasa pernah mencecap ilmu pencak silat dan ajaran spiritual dari Suwargi. Panjenengan diundang untuk berjumpa dan temu kangen. Mohon partisipasi panjenengan semua, semoga hajat ini dapat berlangsung dengan baik.

Dalam pertemuan tersebut kita ingin membangun dan merasakan satu keluarga besar Pencak Silat Tejokusuman, apapun organisasi pencaknya, baik Perpi Harimurti, Krisnamurti, Wijayakusuma atau lainnya yang belum sempat kita kenal.

Usulan dapat dituliskan dalam komentar artikel ini atau langsung email ke purbadi@mail.uajy.ac.id dan dpurbadi@yahoo.com

Salam,

Djarot Purbadi

HUT Ke 14 Pencak Silat Wijayakusuma

Posted in Informasi on April 3, 2009 by djarotpurbadi

Djakalodang No.44 – 4/4/2009, SabtuPahing, 8 Bakdamulud 1942 JE

Pakumpulan Pencak Si­lat madeg ing lingkungan Perguruan Tamansiswa dipandhegani Ki Ungki Sukirno, Tarsono, Sutanto, Tirtokusumo, Dwijo Subroto, Sudiyanto, Madiyono, Kusdanarto lan Rudaryanto. Mangkono laporane Tri Widiyanto ketua Panitia pengetan/Hut. Pakumpulan Pencak Silat Wijayakusu­ma ing Pendhapa Agung Tamansiswa, Minggu kepungkur.

Rawuh lan paring pangandikan Ketua Majelis Luhur Tamansiswa Ki Priyo Dwiarso, Samsuri saka Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, para pendhiri pencak Silat Wijayakusuma lan para tamu. Madege perkumpulan Pencak Silat Wijayakusuma dikepyakake Ki Nayono (almarhum) rikala tgl. 8 Januari 1995. Tri Widiyanto nambahi menawa Pencak Silat Wijayakusuma sumbere saka ajaran Raden Mas Harimurti, sawijining kaum Nasionalis kanca rakete Ki Hajar Dewantara.

Ki Priyo Dwiarso Ketua Harian Majelis Luhur Tamansiswa, makili ketua Umum MLPTS Jendral TNI (Purn) Tyasno Sudarto ing sesorahe nerangake Pen­cak Silat minangka muatan lokal (mulok) mujudake cakcakane Trisentra pendhidhikan Tamansiswa. Pencak Silat sawijining ajaran, kanggo mupuk jiwa kewiraan, kepribadian. Pencak Silat sawijining budaya nasional kang thukul lan ngrembaka ing Nusantara.

Pencak Silat sing tumekaning titi wanci iki isih lestari yakuwi saka Cikalong, Madura, Padang, Minangkabau lan ing Yogya ana Parpin, Tapak Suci, Bima, SHO, SHT, PH, Perisai diri.

Drs. H. Samsuri Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta nayogyani Pencak Silat mlebu ing muatan lo­kal. Aja mung pendhidhikan akademis wae kang mlebu prestasi, nanging Pencak Silat bisa prestasi oleh sertifikat, mula perlu ditekuni. Yen bisa juwara Tataran Propinsi apa meneh tataran Nasional bakal oleh tambahan biji. Kanggo mengeti madege Pencak Silat Wijayakusuma kang kaping 14 uga diregengake upacara motong tumpeng, para pendiri pencak silat sarta pentas Pencak Silat, deningputra/putri SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa. [NHD/DL]

Klaster Blog Ilmu Beladiri

Posted in Gagasan on March 18, 2009 by djarotpurbadi

Dear All,

Kepada para sahabat yang memiliki kekayaan Ilmu Beladiri Nusantara, saya kira sangat bermanfaat jika dilakukan dokumentasi dan komunikasi lewat sarana blog semacam ini. Kita sebagai generasi bangsa lantas dapat menjadi lebih tahu tentang kekayaan budaya Seni Beladiri Nusantara yang tersebar di seluruh negeri kita tercinta. Semoga para sahabat berkenan berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam bidang seni beladiri Nusantara, yang kiranya patut dilestarikan karena kita sungguh memahami keunikannya yang luar biasa.

Saya berharap, kita dapat membangun seni beladiri Nusantara melalui sarana modern dan dengan paradigma baru yang lebih memajukan dan mengembangkan. Jika bukan kita, siapa lagi yang dapat diandalkan untuk melestarikan pusaka nenek-moyang tersebut ?

Salam,

Djarot Purbadi.

Tendangan T Gaya Tejokusuman

Posted in Pencak Silat, Tejokusuman, Tendangan, Yogyakarta on January 7, 2009 by djarotpurbadi

Ditulis oleh: F. Hartono

Tendangan T adalah sebutan lain untuk macam tendangan dengan nama generik Tendangan Samping. Dalam bahasa Karate tendangan ini disebut sebagai Yoko-geri. Terdapat berbagai macam varian tendangan samping ini. Dalam pencak gaya Tejokusuman khususnya perguruan Krisnamurti ada belasan varian tendangan pada pola permainan atas dan bawah.

Permainan atas terdiri beberapa tendangan, yaitu: Tendangan Lipat; Tendangan Lipat Loncat; Tendangan Srimpet Depan; Tendangan Srimpet Belakang; Tendangan Loncat (Jlontrotan); Tendangan Setempat; Tendangan Setempat Loncat; Tendangan Balik; Tendangan Balik Loncat. Permainan bawah ada tiga tendangan, yaitu Tendangan Lipat Bawah, Jlontrotan Bawah, dan Tendangan Balik Bawak.

Pembahasan mengenai Permainan Bawah masuk dalam kategori tersendiri. Disamping itu yang masih bisa dimasukkan sebagai kriteria tendangan samping adalah Tendangan Terbang (disebut juga sebagai Garuda Melayang) dan juga variasi tendangan setempat dengan bertumpu pada lutut dan telapak tangan (untuk mendapatkan jangkauan yang lebih tinggi, fungsi lutut bisa digantikan dengan ujung telapak kaki).

Semua varian diatas, khususnya untuk permainan atas, awalan boleh berbeda tetapi bentuk akhirnya sama yaitu seperti huruf T. Sedikit pengecualian pada Tendangan Balik; walaupun bentuk akhirnya juga mirip huruf T tetapi sikap tubuh agak berbeda (lebih membungkuk dan pandangan ke lawan hanya melirik atau bahkan tidak memandang samasekali). Hal ini karena untuk mengejar kecepatan supaya tendangan lebih dulu sampai sebelum kepala berputar untuk melihat lawan. Pada kesempatan lain akan kita bahas detail masing-masing variasi tendangan diatas.

Pada dasarnya tendangan samping gaya Tejokusuman ini memakai tumit sebagai alat serang dan bukan menggunakan sisi luar telapak kaki atau ada yang menyebut sebagai pisau kaki. Tendangan Samping mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan apabila kita bandingkan dengan tendangan depan (mae-geri). Beberapa kelebihan antara lain :

  1. Jangkauan lebih panjang
  2. Jarak kepala dengan lawan lebih jauh, maka lebih aman
  3. Eksplorasi tenaga bisa maksimum
  4. Lebih indah dilihat

Untuk kelemahannya antara lain :

  1. Sulit digunakan untuk pertarungan jarak pendek
  2. Lebih mudah dideteksi dan lebih lambat karena harus menggunakan awalan baik secara memutar badan ataupun loncatan
  3. Lebih mudah dijatuhkan baik dengan permainan bawah maupun dengan tangkapan. Semakin rebah sikap badan semakin mudah dijatuhkan dengan tangkapan.
  4. Energi yang diperlukan lebih besar karena harus memindahkan berat badan. Kebutuhan energi semakin meningkat bila ada variasi loncatan dan akan makin boros pada tendangan terbang
  5. Kurang menghadap lawan sehingga bisa kehilangan pandangan

Untuk kelemahan kelemahan tersebut diatas bisa diatasi dengan sikap badan yang lebih tegak dan lebih menghadap lawan sehingga kalau dilakukan secara ekstrim bentuknya berubah seperti huruf ”Y”. Beberapa untung rugi dengan cara ini adalah:

  1. Jangkauan berkurang sehingga lebih bisa digunakan untuk pertarungan jarak pendek
  2. Tidak banyak memutar badan sehingga lebih sulit dideteksi dan tenaga yang diperlukan juga sedikit lebih irit, tetapi konsekuensinya tenaga yang dihasilkan juga tidak bisa maksimum
  3. Lebih sulit dijatuhkan dengan tangkapan karena badan lebih tegak dan juga karena jarak dengan lawan menjadi lebih pendek sehingga mudah melakukan clinch (pelukan/pegangan lawan)
  4. Lebih mudah mendeteksi gerakan lawan karena lebih menghadap termasuk kemungkinan lawan menggunakan permainan bawah (misal sirkel/sabetan bawah) untuk menjatuhkan

Pertandingan Pencak-silat (juga Taekwondo) lebih banyak menggunakan tendangan T ini dalam versi loncat, sementara Karate dan Kempo lebih banyak menggunakan pukulan dan tendangan depan. Pertarungan jarak pendek seperti pada Kickboxing juga kurang menyukai jenis tendangan ini mungkin karena pertimbangan jarak dan juga penghematan tenaga.

Pesilat-pesilat muda biasanya bangga sekali kalau mereka bisa melakukan tendangan samping setinggi-tingginya sampai diatas kepala. Memang mereka pantas berbangga karena perlu latihan keras dan kelenturan otot yang baik untuk bisa melakukannya. Namun sebenarnya, tendangan tinggi ini hanya indah untuk dilihat tetapi banyak kelemahannya yaitu., jangkauan lebih pendek, tenaga yang dihasilkan tidak bisa maksimum, serta mudah dihindari dan dijatuhkan.

Membaca Ulang Buku Teknik Pernafasan untuk Kesaktian dan Sugesti

Posted in Informasi, Pencak Silat, Tejokusuman with tags on December 3, 2008 by djarotpurbadi

Setelah 27 tahun sejak lahirnya naskah buku berjudul “Ilmu Pernafasan untuk Kesaktian dan Sugesti” yang ditulis oleh Tarsono dan Lumintu tampak sambutan masyarakat cukup antusias. Dari pengamatan kami masih banyak orang yang tertarik dan berusaha menguasai teknik pernafasan yang ditulis itu untuk kesehatan dan keampuhan fisik, khususnya para pandemen beladiri.

Salah satu kelompok yang juga tertarik adalah orang-orang yang menderita sakit tertentu dan ingin mempelajari teknik pernasafan tersebut untuk memulihkan kesehatan. Tujuan tersebut benar dan tepat, sebab teknik yang diajarkan di dalam naskah buku itu bertumpu pada asumsi bahwa kesehatan badan sangat tergantung pada kesehatan peredaran oksigen di dalam tubuh manusia. Jadi, kesehatan dan kekuatan paru-paru menentukan diperolehnya kesegaran fisik dan psikis.

Menurut catatan pribadi kami, buku tersebut sangat mudah dan segera dapat dipraktekkan oleh mereka yang selama ini terlatih fisiknya, khususnya orang-orang yang menekuni beladiri atau seni gerak yang lain (misalnya para penari). Mengapa demikian ? Gerakan dan posisi yang digambarkan di dalam buku itu didasari asumsi bahwa orang yang mempelajarinya selama ini sudah memiliki fisik yang baik dan terlatih dalam gerakan-gerakan atau jurus-jurus beladiri. Minimal mudah dilakukan oleh orang yang memiliki kuda-kuda beladiri yang terlatih dan sudah terbiasa melakukan rangkaian gerakan jurus yang memeras tenaga.

Pada tahun 1981 ketika buku tersebut sedang dipersiapkan, kami beberapa siswa Krisnamurti menjadi semacam “kelinci percobaan” yang mendukung isi buku tersebut. Pada waktu itu kami tidak mengalami kesulitan mempelajarinya, mulai dari teknik pernafasan yang dasar hingga yang berkaitan dengan pelontaran tenaga gabungan. Hal ini terjadi karena pada waktu itu kelompok kami adalah “tim tempur” yang mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi pencak silat di DIY. Push up 300 kali sehari menjadi makanan sehari-hari, bahkan kewajiban menendang atau menggajul sebanyak 200 kali kaki kiri dan kanan dalam sehari merupakan menu sehari-hari. Artinya kondisi fisik yang prima menjadi syarat untuk bisa langsung mempraktekkan porsi-porsi dalam buku tersebut.

Saat ini, setelah waktu berjalan lebih dari 20 tahun, kami mencatat bahwa buku tersebut masih dapat digunakan untuk menjaga kesehatan melalui kuatnya paru-paru. Namun, bagi para pemula atau yang kondisinya tidak prima (seperti gambaran diatas), tampaknya diperlukan semacam periode transisi. Tujuan periode ini adalah membiasakan paru-paru mengikuti model pernafasan yang ada di dalam buku tersebut, ditambah dengan kekuatan otot badan yang mendukung gerakan-gerakan untuk pernafasan yang standar di dalam buku itu. Maksudnya, untuk dapat melakukan gerakan standar dan sesuai porsi di dalam buku tersebut diperlukan syarat kondisi fisik yang sesuai (prima).

Periode transisi dapat berupa latihan pernafasan yang bentuk gerakannya sama atau mendekati model latihan pernafasan satu (LP-1), yaitu membungkuk dan membuang badan ke belakang sambil membuang dan mengambil nafas pelan-pelan namun dalam posisi kaki yang rapat (bukan posisi kuda-kuda kaki terbuka lebar). Cara ini perlu dilatih setiap hari minimal 10 menit selama sebulan untuk membiasakan pola pernafasan panjang melalui hidung dan mulut secara teratur dan berirama sambil memperkuat kaki-kaki untuk persiapan memiliki kuda-kuda yang kuat.

Selain itu, para pemula juga perlu membiasakan menarik nafas dan membuang nafas dengan tarikan atau hembusan yang lebih panjang untuk membentuk kebiasaan bernafas panjang. Jika kita di dalam bis kota, misalnya, kita tetap berlatih bernafas panjang juga. Jadi latihan bernafas panjang dilakukan dimanapun dan kapanpun. Uraian ini sesuai dengan arahan Pak Tarsono dalam pertemuan keluarga Krisnamurti di Bantul beberapa tahun yang lalu dan saya catat dengan baik. Katanya, kita harus memiliki deposit oksigen di dalam darah kita lebih banyak dari orang lain agar lebih sehat. Jadi, bernafas panjang lantas menjadi gaya hidup yang dianjurkan di dalam buku teknik pernafasan itu.

Setelah sekitar sebulan melakukan periode transisi dan pola pernafasan panjang terbentuk disertai kaki yang dirasakan kuat untuk menggunakan posisi kuda-kuda kaki terbuka lebar, maka latihan sesuai tuntunan buku tersebut dapat dimulai secara bertahap. Periode transisi ini sangat penting, lebih-lebih bagi mereka yang sama sekali tidak menekuni beladiri, sebab sebenarnya teknik pernafasan di dalam buku itu adalah penunjang pencak silat. Jadi, mau tidak mau perlu memiliki dasar beladiri, minimal kuda-kuda. Teknik lanjutan yang dituliskan di buku itu pada akhirnya adalah menggabungkan pernafasan dengan gerakan pencak silat. Jadi mengintegrasikan teknik pernafasan dengan teknik gerakan beladiri.

Perlu diingat, bahwa efek dari teknik pernafasan ini dapat terlihat langsung, misalnya keringat akan bercucuran sangat deras selama dan sehabis latihan, namun hasil jangka panjang yang lebih banyak dan relatif permanen akan diperoleh melalui ketekunan mental, sesuai dengan semboyan “ngelmu kelakone kanthi laku” (ilmu dapat dikuasai dengan ketekunan latihan/laku) menurut keyakinan RM. Harimurti. Jadi, tidak ada hasil yang instant, sebab melatih paru-paru dan kuda-kuda (kaki) harus dilakukan dengan pelan-pelan dan bertahap. Tujuan akhir latihan bukan memecah benda keras, melainkan kesehatan paru-paru dan fisik kita. Memecah benda keras hanya efek atau salah satu sarana penguji hasil latihan. Oleh karenanya, tujuan latihan mesti di tetapkan dengan jernih sejak awal, supaya tidak kecewa di kemudian hari.

(bersambung)

Menggugah Pelestarian Budaya Bangsa

Posted in Informasi on November 27, 2008 by djarotpurbadi

Pencak silat adalah seni beladiri khas Indonesia. Banyak ragam perguruan dan aliran pencak silat di seantero nusantara. Ada yang tergabung dalam IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) adapula yang berdiri independen.
Sebagai salah satu identitas bangsa, pencak silat juga mulai dikenal di berbagai belahan dunia. Meski belum sepopuler seni beladiri asal China dan Jepang, namun paling tidak promosi tersebut sudah terlihat hasilnya dengan adanya partisipasi beberapa negara setiap kali digelar kejuaran dunia pencak silat.

Ironisnya, di kala pencak silat mulai berkembang di manca negara, di negeri sendiri malah terjadi sebaliknya. Seni beladiri kebanggaan bangsa ini kalah cepat perkembangannya dengan seni beladiri impor.

Era globalisasi juga semakin menyaingi perkembangan pencak silat. Lihat saja, sekarang mulai berdatangan seni beladiri impor lainnya dari Asia Tenggara dan tanah Eropa serta Amerika. Sebut saja macam Mix Martial Arts dari Amerika Serikat, Capoeira dan Brazillian Jiu Jitsu dari Brazil, Krav Maga dari Israel, Arnis/Eskrima dari Filipina.

Di berbagai tempat mudah ditemukan tempat latihan seni beladiri impor, baik berbentuk areal terbuka maupun gedung khusus. Sementara tempat latihan pencak silat tidak banyak ditemukan.

Nasib pencak silat, mirip dengan seni tradisional nusantara lainnya yang di beberapa daerah mulai redup seiring perputaran roda zaman yang semakin modern.

Disayangkan, seni budaya nasional harus ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Padahal, semestinya kita harus bangga dengan budaya sendiri.

Oong Maryono, tokoh pencak silat nasional, dalam sebuah tulisannya mengungkapkan fenomena tersainginya pencak silat oleh ‘invasi’ seni beladiri asing. Sebagaimana kutipan artikelnya:

Kesulitan juga datang dari luar dunia pencak silat, karena persaingan yang ketat dari bela diri impor. Antara 1960-1966, pada waktu terjadi kemerosotan ekonomi dan politik negara yang menimbulkan ketidakberdayaan IPSI, karate secara resmi masuk Indonesia dan dengan tangkasnya memasuki kalangan pelajar dan ABRI.

Dari mulanya, karate dan judo dipraktekkan sebagai olah raga dan dipertandingkan di depan umum. Penerimaan yang positif terhadap bela diri asing, memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olah raga, atau seperti ditulis oleh salah satu koran masa itu “kehadiran karate di Indonesia merupakan cambuk yang benar-benar efektif untuk ‘membangunkan’ kalangan pencak dari tidurnya”.

Apa yang membuat pencak silat ‘kalah’ oleh seni beladiri asing?

Jika ditelaah, beberapa perbandingan berikut bisa menjadi jawaban: Seni beladiri asing lebih terbuka dalam penyebaran ajaran. Sebaliknya pencak silat dominan tertutup. Hanya beberapa perguruan/aliran pencak silat yang mau membuka diri dengan memampang papan nama perguruan/aliran dan memperlihatkan lokasi tempat latihan, kemudian mau latihan di tempat terbuka, tidak melulu di dalam ruangan tertutup.

Seni beladiri asing relatif mengenyampingkan sifat superioritas di antara sesama seni beladiri. Contoh, Jepang memiliki karate, judo, shorinji kempo, jujutsu, aikido, ninjutsu, tetapi satu sama lain tidak menganggap lebih unggul. Semua berkembang seiring, terserah orang mau pilih yang mana atau mempelajari dua atau tiga beladiri berbeda. Tidak masalah. Sedangkan pencak silat masih ada perguruan/aliran yang mengutamakan sifat superioritas. Sesama pencak silat berusaha saling mengungguli satu sama lain, bukannya sama-sama bergandengan tangan membangun kebersamaan.

Seni beladiri asing didukung negara asalnya. Sarana latihan didanai pembangunannya demikian pula kegiatan (pertandingan dll). Sebaliknya pencak silat minim dukungan dari pemerintah. Lihat saja selain di Taman Mini, padepokan pencak silat yang representatif bisa dihitung dengan jari. Semestinya setiap pemerintah daerah mau membangun padepokan untuk perkembangan pencak silat. Mendanai segala kegiatan pencak silat.

Seni beladiri asing ‘royal’ berpromosi (mengekspos diri). Promosi kegiatan gencar dilakukan melalui mass media (cetak dan elektronik). Sebaliknya, masih banyak perguruan/aliran pencak silat yang enggan mempublikasikan diri.

Seni beladiri asing rutin kegiatan, baik latihan bersama, pertandingan, seminar dan sebagainya. Sebaliknya pencak silat, minim kegiatan, misalnya pertandingan, jika dibandingkan karate yang setahun bisa sampai 3 kali digelar, pencak silat kurang dari itu.

Tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan seni budaya bangsa sendiri. Melainkan untuk menggugah kita semua agar peduli dengan kenyataan yang ada. Bagaimana seharusnya kita memperlakukan aset bangsa agar bisa mendapat tempat yang lebih tinggi di hati masyarakatnya sendiri. Bagaimanapun perubahan harus dilakukan agar pencak silat tak hanya memiliki pamor di negeri orang tetapi juga di negeri sendiri.

(Sumber: Harry Budiman, martialartist.blogspot.com; judul diubah sesuai kebutuhan)

Pendekar yang menghargai Oksigen

Posted in Informasi, Pencak Silat, Tejokusuman, Yogyakarta with tags , , on November 25, 2008 by djarotpurbadi

Kompas, Selasa, 25 Nopember 2008

Oleh: Mawar Kusuma Wulan

Kegelapan telah membekap malam ketika beberapa pendekar dari Perguruan Bhayu Manunggal berkumpul di Padepokan Ambarketawang, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan diterangi lampu neon, mereka rakus menghirup dingin udara malam menggunakan jurus ilmu pernapasan di bawah arahan Tarsono (73), akhir Oktober lalu. Lima menit berlatih teknik dasar pernapasan, keringat deras mengucur membasahi pakaian seragam bela diri mereka.

Sejak setahun terakhir, Tar­sono sudah jarang memberi latihan fisik karena raganya mulai ringkih. Akan tetapi, Tarsono masih menjadi tumpuan belajar energi pernapasan oleh para pendekar. Lebih dari 60 pendekar tua dari beragam organisasi masih berguru ilmu pernapasan pada Tarsono.

Berpenampilan sederhana dan jauh dari wajah garang, Tarsono menjadi guru dan sesepuh dari banyak orga­nisasi bela diri di Yogyakarta. Di rumahnya, dengan lahan seluas 2.000 meter persegi yang berada tak jauh dari reruntuhan tembok petilasan Keraton Ambarketawang, beberapa perguruan silat sengaja memasang badge papan nama. Tarsono juga menyimpan berpasang-pasang baju bela diri dari berbagai perguruan silat hingga sering kali tak mengenali pakaian perguruan mana yang dikenakannya. Padahal, tak sekalipun dia tertarik bergabung ke dalam salah satu organisasi bela diri itu.

Masa muda Tarsono sarat dengan pertarungan. Kala itu, dia selalu menjadi orang pertama yang dicari oleh Corps Polisi Militer atau CPM tiap kali terjadi perkelahian antarremaja di Yogyakarta. Berawal dari tukang kelahi yang paling disegani, Tar­sono sempat membaktikan ilmunya untuk melatih di Kopassus maupun Kodam I Iskandar Muda di Aceh.

Masa berkelahi secara fisik telah ditinggalkan, Tarsono kini berjuang membantu para pendekar untuk menangkal berbagai benturan hidup, yaitu dengan memanfaatkan pernapasan sebagai perisai diri. Berkumpul dan saling raembagikan pengalaman hidup menjadi kekuatan tersendiri. Kesaksian akan ke-ampuhan ilmu pernapasan men­jadi kekuatan pendekar untuk terus berpikir positif dalam menjalani hidup.

Oksigen yang diraih oleh tubuh melalui teknik pernapasan berlimpah hingga empat kali lipat dibanding bernapas biasa. Para pendekar mengibaratkan oksigen sebagai uang yang harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Cadangan uang berupa napas yang tersimpan di dalam tubuh itu bisa digunakan sebagai penahan benturan fisik maupun nonfisik.

Berbekal kekuatan dari ca-dangan oksigen yang banyak, Tarsono bisa memecah benda keras dengan tangan kosong. Semakin besar tenaga yang dikeluarkan, makin besar pula cadangan oksigen yang dibutuhkan. Tenaga dari oksigen itu bisa dikendalikan dan sering kali muncul dengan sendirinya ke-tika tubuh sedang diancam bahaya.

Ilmu bela diri, kata Tarsono, terbukti telah beberapa kali menyelamatkan hidupnya. Dia lalu mengisahkan ketika sempat hampir tertabrak mobil di jalan raya: “Saya lalu salto dan berdiri di atas kap mobil yang melaju kencang itu. Sejak itu, saya jadi kondang (terkenal),” ujarnya sambil tertawa.

Hampir semua organisasi bela diri di Yogyakarta, seperti Pelopor Organisasi Pencak Silat Indonesia Bhayumanunggal, Persatuan Si­lat Indonesia Wijaya Kusuma, Perguruan Taekwondo, hingga Aikido, menganggap Tarsono sebagai sesepuh sekaligus guru. Murid-muridnya sering kali berdatangan ke rumahnya untuk minta saran tentang teknik pernapasan atau sekadar berbagi kesaksian hidup.

Dalam satu malam, Tarsono bisa 500 kali berlatih tarikan napas tanpa berhenti. Saat ini, jumlah muridnya sudah tak terhitung. Sebagian besar mu­ridnya itu kemudian menjadi guru bela diri maupun teknik pernapasan.

Meski telah lepas dari bela di­ri fisik, menurut Tarsono, ilmu berkelahi tetap menjadi dasar dari latihan pernapasan. Seperti halnya perkelahian, teknik per­napasan bisa dilakukan di mana saja dan kapan pun. Berbeda dengan ilmu bela diri dari manca-negara yang membutuhkan ruang atau persyaratan tertentu, ilmu yang diperoleh Tarsono da­ri Keraton Yogyakarta ini cenderung membebaskan dengan prinsip menyedot oksigen sebanyak-banyaknya.

Melihat sang ayah, Mulyo Sugondo, yang aktif mengajar bela diri di Perguruan Silat Suci Hati, pria kelahiran 24 April 1935 ini mulai tertarik ilmu berkelahi. Tarsono hanya sebentar berguru pada sang ayah karena dia lebih tertarik ilmu kanuragan dari Ke­raton Yogyakarta yang diajarkan oleh RM Harimurti. Harimurti adalah cucu Sultan Hamengku Buwono VII.

Di usianya yang baru 22 tahun, Tarsono telah menjadi guru silat di Yogyakarta. Berkelahi dan tak pernah kalah, membuat tawaran untuk menjadi pelatih bela diri terus mengalir dari berbagai daerah. Tarsono selanjutnya diundang oleh Wali Kota So­lo untuk melatih di seluruh wilayah Eks-Karesidenan Surakarta. Keahlian bela diri pula yang membuat dia ditawari menjadi dosen ilmu bela diri di Sekolah Tinggi Olahraga Negeri Surakarta dan pegawai negeri di Dinas Penghasilan Daerah Su­rakarta.

Pada tahun 1965, Tarsono menjadi satu-satunya pelatih bagi para perwira untuk ilmu kekuatan di Kopassus. Pembekalan bela diri yang dibagikan oleh Tarsono terutama adalah kemampuan memecah benda keras. Selain memperoleh kemampuan otot, para perwira dilatih untuk berani dan memiliki men­tal yang kuat.

Pada tahun 1980, Tarsono kembali dipanggil oleh Kodam I Iskandar Muda untuk mengajar ilmu berkelahi dengan teknik pernapasan. Di sela melatih militer, dia juga mengajar ilmu bela diri di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Melihat tingginya minat untuk belajar ilmu per­napasan kala itu, Tarsono kemudian menulis buku bertajuk “Ilmu Pernafasan untuk Kesaktian dan Sugesti” yang diterbitkan Yayasan Budhi Mandiri, tahun 1981. Buku itu sempat dicetak hingga tiga kali dalam setahun.

Tak tahan terus-menerus berpisah dengan istri dan lima anaknya, pria yang murah senyum ini memilih kembali menetap di Yogyakarta.

Dia selalu mengajari murid-muridnya untuk memegang lima prinsip dasar, yaitu percaya kepada Tuhan, berbakti serta menghargai orangtua dan guru, sabar dan tahu benar salah, tidak boleh lari dari kenyataan, serta tidak ada kalah dan menang.

Karena kecintaannya pada ilmu bela diri, Tarsono selalu melatih tanpa mengharap imbalan. Ketika masih aktif melatih, dia bisa mengajar hingga 13 kali dalam satu pekan tanpa memperoleh uang sepeser pun. Kakek dari enam cucu ini mengaku ingin istirahat di masa tuanya, tetapi dia tak pernah sanggup membendung kehadiran para muridnya untuk sekadar meminta nasihat atau berlatih teknik pernapasan.